Sebuah kenang-kenangan di Muntok Bangka Barat
Deretan travel berjajar di terminal pelabuhan Tanjung Kalian. Saya melihat dan mencari-cari tumpangan yang dapat mengantarkan saya ke Sungai Liat untuk bergabung dengan kawan-kawan yang tengah larut dalam gempitanya pelatihan pembekalan, Madya 2, begitu kami menyebutnya. Sesaat, setelah melihat secarik kertas, sebuah karcis, saya mendapatkan tumpangan ke Sungai Liat. Maklum baru pertama kali ini saya menginjakkan kaki di negeri timah. Rasa bingung dan tak mengenal arah menyelimuti dan saya hanya berpesan dengan sang sopir untuk menurunkan saya di tempat tujuan.
Saya menghela nafas saat melihat teman-teman tengah sibuk mengikuti serangkaian materi pelatihan. Dan tak terasa saya telah bergabung dengan mereka untuk bersama-sama belajar, dengan harapan apa yang kita pelajari ini akan menjadi bekal dan transfer informasi kepada masyarakat di wilayah dampingan. Terlalu muluk kelihatannya jika melihat kondisi masyarakat yang sangat tidak pas dengan teori yang ada. Tapi inilah perjuangan kawan.....!!!!
Ya, saat itu akhir Januari yang lembab. Guyuran hujan sebagai limpahan rejekiNya mengguyur bentangan pulau yang dulunya masuk dalam wilayah Sumatera Selatan. Namun kini menjadi propinsi tersendiri, mandiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Luar biasa.
Akhir Januari itulah, atau tepatnya awal Februari 2009, saya resmi bergabung dengan teman-teman dalam alur dan proses PNPM Mandiri Perkotaan di wilayah Kecamatan Muntok. Suatu wilayah yang sungguh sangat asing bagi saya, yang belum pernah saya ketahui karakternya, yang belum pernah terbesit dalam pikiran bagaimana sambutan masyarakat nanti terhadap saya. Menerima atau bahkan sebaliknya, saya akan babak belur karena tak mampu berbuat apapun bersama mereka (baca; masyarakat).
Hal pertama yang saya lakukan adalah silaturahmi dengan kawan-kawan BKM yang telah ada sebelumnya. Mulai dari Pak Helmi, Pak Eddy, Pak Abu Samah, Pak Bambang, Pak Saimi, Pak Muswandi dan Pak Ilmin. Yang kesemuanya adalah koordinator Pimpinan Kolektif BKM saat itu. Dari situ saya memperoleh gambaran, bahwa ada mosi tidak percaya terhadap peran pendamping (baca; faskel). Dan entah apa penyebabnya sampai ada mosi tidak percaya seperti itu. Bahkan saya dengar, kawan-kawan BKM mengutarakannya saat pertemuan di propinsi untuk meminta agar faskel tidak lagi mendampingi mereka (baca; BKM). Suatu hal yang sulit saya cerna saat itu. Dan ini tantangan bagi saya serta bagi kawan-kawan pendamping lainnya untuk membuktikan pernyataan tersebut. Sebuah tantangan berat sebagai pendamping baru di wilayah ini.
Memang, program pemberdayaan yang dibungkus dalam PNPM Mandiri Perkotaan, sedikitnya ada tiga pilar yang berperan untuk merealisasikan proses yang ada. Peran serta masyarakat (baik itu BKM, relawan, tokoh masyarakat, perempuan, dsb), peran serta pemerintah dan peran fasilitator atau pendamping. Jika ketiga pilar ini dapat menyatu dan berbaur, maka bukan hal yang tidak mungkin keberhasilan tinggal menunggu waktu. Secara keseluruhan, peran serta masyarakat memegang peranan utama di dalam perjalanan proses ini. Pemerintah dan pendamping bertindak sebagai mediator yang berperan memfasilitasi kegiatan dan proses yang ingin di bangun bersama.
Seseorang pernah mengatakan, E = m.c2
Dimana E adalah energy untuk membuat perubahan di masyarakat.
Program yang ada memang dirancang untuk menumbuhkan kembali sifat-sifat alamiah masyarakat yang telah luntur akibat pergeseran masa dan pertukaran waktu. Program PNPM Mandiri Perkotaan memang dirancang untuk menyatukan masyarakat yang terkotak-kotak dan akhirnya mengakomodir melalui kegiatan bersama dengan partisipasi dan keterlibatan semua. Berat memang dan ini cuma teori. Teori bagi sebagian orang yang sebenarnya hanya merupakan ungkapan pembenaran belaka. Menutup-nutupi kelemahan sendiri tanpa mau melihat realita/kenyataan yang ada.
Sedangkan m adalah massa, yang jika dirunut adalah bicara kuantitatif. Kuantitatif berarti bicara jumlah. Artinya, seberapa banyak jumlah masyarakat yang terlibat dalam program ini. Semakin banyaknya masyarakat yang terlibat akan semakin memperbesar energy perubahan di masyarakat itu sendiri. Selain bicara jumlah, juga terdapat indicator lain, yakni c atau kapasitas. Yang berarti seberapa besar kesadaran masyarakat untuk membuat perubahan di wilayahnya. Untuk dapat menjadikan energy positif membangun wilayahnya. Bukan hanya pembangunan fisik semata namun juga pembangunan spiritualnya.
Bicara soal kapasitas inilah, ditugaskannya pendamping-paendamping dimasyarakat untuk bersama-sama belajar dan menggali potensi atau kemampuan yang ada di masyarakat. Tetapi bagaimana jika pendamping tidak bisa menyatu hanya karena adanya mosi tidak percaya kepada pendamping tersebut?? Bagaimana pendampingan bisa dijalankan jika masyarakat telah melabelinya dengan sejuta pernak-pernik ketidakpercayaan, sinis serta merendahkan???
Dan sampai saat ini (bulan Januari 2009), mosi tidak percaya itu masih tersimpan rapi dalam file mereka (baca; masyarakat). Mosi tidak percaya terhadap pendamping/faskel yang berakibat pada lambatnya capaian progress lapangan. Ini sangat wajar dan saya pribadi bisa menerima mengapa masyarakat sampai ada mosi tidak percaya tersebut. Saya pribadi paham dan dengan segala kekurangan, saya menerima hal itu. Tetapi selama kita semua menyakini formula E = m.c2 diatas, Insya Allah program yang kelihatannya rumit, memberatkan dan membebani ini akan terasa asyik, meski tak selamanya mengasyikkan.
Terimakasih kepada masyarakat, kawan-kawan LKM yang telah menjadi lawan diskusi yang handal di dalam setiap kesempatan. Juga kepada kawan-kawan Tim Faskel Muntok yang baru, semoga komposisi baru ini menjadi semangat baru di dalam proses mendampingi masyarakat yang telah tertanam mosi tidak percaya kepada kita (pendamping). Terimakasih juga kepada semua yang telah menganggap kami tak pernah mendampingi, tak pernah koordinasi dan sejuta tak pernah lainnya. Semoga ini menjadi pelecut semangat kami kedepan.
Dan Alhamdulillah setelah perjalanan pendampingan kurang lebih satu tahun, paradigma dan anggapan itu luntur. Kepercayaan telah kembali terbangun dan pondasi kuat telah tertanam di masyarakat untuk melanjutkan proses yang ada.
Saya kemudian teringat hal seperti ini ; ”Tidak akan tersucikan suatu umat selama si lemah tidak dapat menuntut dan memperoleh haknya dari si kuat tanpa rasa takut dan cemas”, yang selama ini masih belum terwujud di negeri ini.
Pesan utusan Tuhan yang akan selalu saya ingat, yang akan meneguhkan betapa pentingnya melindungi orang miskin dan melugaskan kembali mandat sebagai orang yang ingin perubahan. Pesan Rasulullah itulah yang menjadi roh untuk terus menghidupkan keberadaan orang miskin, dan saya seakan ingin melampiaskan pesan singkat : kami bukanlah sang penghianat amanat dengan mengingkari keberadaan kami sebagai pendamping. Akhirnya, rasa sayang dan limpahan terdalam untuk orang miskin yang saya kenal maupun yang kini bertahan hidup.
Posted by:
Shine
12
komentar
Categories:
Community Development,
Perenungan Community