Sabtu, 30 Januari 2010

Ketika Kamuflase Menjadi Ketulusan

Sebuah Perenungan….

Sesaat langit gelap, namun kemudian memudar, berganti sibakan awan yang perlahan gemerlap bintang angkasa menampakkan diri dengan kilau kecil yang menggoda. Seiring itu, sang penguasa malam, rembulan bersinar, menyibak gugusan kapas raksasa yang bergelantungan, mengusirnya lenyap, hingga terpancar sang pencerah malam, penerang kegelapan yang tak kan mengharap imbalan apapun dari si penikmatnya.

Baru saja, aku berdiskusi dengan seorang teman, mengurai pekerjaan, menerjemahkan gugusan persahabatan, ikatan emosional dan menyibak tirai “kemunafikan”. Kehidupan yang “fana”, memang diartikan penuh kenikmatan bagi si pemuja sisi eksotisme kehidupan. Nuansa kemewahan dan pola pikir membujuk telah melekat di setiap lekuk dan ujung tubuhnya. Ucapan manis “gaya dulu” tak lepas dari untaian kata yang tersusun rapi dalam setiap kalimat laksana hunusan pedang dan ujung anak panah yang siap menghujam sasaran. Hasilnya luar biasa. Si korban tak berdaya, terengah-engah dan tergulai lemah tanpa daya perlawanan berarti.

Energi logika mengalahkan perasaan dan sisi insting serta feeling si pemilik raga. Meruntuhkan jalan pikiran yang mencoba bergerak, menyusuri alam bawah sadar, dibawah tekanan bertarung dengan logika dan perasaannya. Sebuah ”kamuflase” kehidupan terbentang luas di hadapannya. Mengancam, siap menerjang dan membuat tubuh menciut akibat lilitan yang makin menjerat. Memutar balikkan fakta, permainan kalimat yang disertai bumbu ajaib hingga terasa manis, namun hambar, hingga semuanya tak lebih hanya sebuah ”kamuflase” belaka.

Suatu hal dan metode klasik yang dipakai untuk pengamanan posisi. Dimana, dengan siapa berada, maka akan segera berubah bentuk untuk menyesuaikan situasi dan kondisi namun tanpa niat dalam hati. ”Oportunis” menjadi pilihan terakhir, saat hal tersebut menyangkut keberadaannya, posisinya, kenyamanannya tetapi tanpa sadar dia telah membunuh karakter dan sisi humanisnya.

Kenapa tidak bersikap apa adanya, sesuai realita tanpa mengingkari keberadaan Sang Pencipta. Terkadang untuk keperluan tertentu dan tentu saja untuk kepentingannya, orang bisa memilih kata ”kamuflase” sebagai bagian dalam hidupnya. Pengingkaran terhadap sebuah mahakarya sejati nan luhur,-hati- Sang Pencipta. Mengeluarkan segenap kemampuan dan cara demi menjaga citra diri tanpa memandang keberadaan orang disekitarnya.

Tampak mengurai sisi humanis dan hakekat sebuah tindakan, menggambarkan potret sebuah realita, menjunjung arti kehidupan, tetapi semuanya hanya sebuah kemunafikan. Tuhan....

Sisi menghargai sesama telah memudar berganti anti konspirasi untuk sebuah hal yang berarti, hakekat manusiawi. Perlahan muncul analogi-analogi prematur, menjebak mulianya perjalanan proses yang terjadi demi sebuah satu pilihan, posisi.

Kemudian....

Saat sang penghibur datang, pencerah jiwa muncul dengan tenang, membawa kedamaian, menebarkan pesona persahabatan dengan balutan keikhlasan, perlahan melunturkan sisi ”topeng humanis” nya, meleburkan warna ”kamuflase” nya dengan satu senyuman yang terkembang.

Sungguh elok, nuansa eksotisme dan ”gaya tempo dulu”, berganti sebuah ungkapan realita. Sejuk dan menyejukkan saat kedua bibirnya mengatup, merajut untaian ucapan penuh makna tanpa tendensi sebuah posisi. Kesederhanaan sikap, perhitungan langkah, semangat membangun tanpa menjatuhkan, menumbuhkan motivasi tak terkira bagi si pengagum ketulusan. Keengganan menjadi pahlawan meski sebenarnya ditakdirkan menjadi sang pembawa pesan.

Masih ingat, petualangan Frodo dalam The Lord of the Ring,–yang karena takdir- diharuskan melawan kelemahannya sendiri untuk menyelamatkan bangsanya dari kutukan cincin The One. Frodo harus menjadi manusia super, istimewa, selalu menang di medan perang, bisa keluar dari medan seberat apapun dan mampu melawan godaan hati kecilnya sebagai manusia biasa.

Sebuah potret petualangan yang dapat dijadikan motivasi dan semangat perubahan dalam memandang ”dunia”. Dunia yang sementara aku menggelutinya dengan pemberdayaan. Yang katanya memanusiakan manusia sesuai dengan fitrahnya. Yah, Frodo juga hanya manusia biasa. Bukan ksatria, pejuang atau bahkan pahlawan. Dia hanya “anak kecil” yang kerap mempertontonkan keengganannya menjadi pahlawan. Ekspresi jujur,-bukan kamuflase- tentang betapa beratnya melawan kelemahan kita untuk memenuhi harapan banyak orang dengan sebuah ketulusan.

Akhirnya...

Aku ingin menggapai dahan tantangan, mengupas buah kesulitan, berdiri di ranting mara bahaya dan mengurai misteri hijaunya daun. Aku ingin menghirup aroma bunga pengalaman, lalu memetik putik kehidupan yang tak pernah dapat diterka.

Aku merindukan reaksi-reaksi kehidupan, mengurai gugusan atom dalam struktur ekivalen, menyerap, bersatu, mengikat, mengganda, berkembang kearah multi fungsional.

Aku seorang pengelana seberang yang selalu ingin mengembara, menemukan bunga di dinding jurang. Ingin mengarungi sungai hingga ke muara, laut hingga ke samudra. Merasakan sengat terik matahari, menahan pedih pusaran angin, dan membeku di terpa dingin. Aku ingin kehidupan tanpa batas kemanfaatan, penuh kesederhanaan dalam iringan doa masyarakat kasta terbawah. Aku ingin itu!!! Ingin merasakan arti hidup untuk sesama!!!

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas segala masukan, saran, komentar kepada Shine Community