Selasa, 02 Februari 2010

Keadilan Untuk Si Miskin ?

Kepercayaan lama kalau kekayaan kadangkala sebuah bingkisan gratis yang ditimpakan kepada orang bernasib mujur. Kekayaan di negeri dimana penduduknya ada yang kelaparan ini memang terasa angkuh dan sombong. Tetapi memang salah satu syarat untuk kaya di negeri ini adalah tidak mempunyai rasa malu yang memang sudah lenyap dalam khasanah pemilik kekayaan. Orang miskin bukan hanya terlunta tetapi bisa menjadi korban bualan para penguasa yang merangkum kemiskinan dalam sederet label kemudian dikalkulasi dalam jejeran angka. Dikelilingi oleh kondisi muram itulah, maka orang miskin lebih tepat untuk dijadikan judul buku, nyanyian atau bahkan sampul atau tajuk sebuah program. Mereka cukup disentuh dengan aksara bukan aksi, layaknya doa yang kerap dilantunkan oleh orang miskin.

Saya pernah menghadiri acara (uniknya sebuah acara dengan tajuk kemiskinan) dengan kawan-kawan di sebuah hotel yang lumayan mewah, yang selalu membuat saya kelihatan tampak jadi manusia primitif, kuno, bahkan bego, karena sulit mencerna, menerima dan memakai instruksi. Di sebuah hotel dimana banyak terdapat kamar dengan dijejali manusia-manusia berduit yang dengan enaknya tidur diatas kasur empuk, padahal dikanan-kiri hotel banyak orang miskin yang musti tidur berdempetan. Pengalaman di hotel itulah yang membuat saya bukan hanya sekedar yakin bahwa kaya itu nikmat, tetapi sekaligus paham bahwa ternyata orang kaya itu banyakkkkk...

Seringnya kemiskinan dijadikan seminar, lokakarya di hotel berbintang atau ceramah, makin membuat kemiskinan menjadi topik dan bahan diskusi ketimbang menjadi elemen penting dari gerakan sosial. Ada memang beberapa kelompok yang terlibat dalam pembelaan orang miskin, tetapi tak sedikit yang menjadikan orang miskin hanya semata-mata bagian dari program. Ironis memang, menjual orang miskin untuk memperkaya diri sendiri dengan balutan topeng dan lipstik perbaikan derajat si miskin. Makanya, kemiskinan lebih baik dijadikan bualan di forum seminar atau pelatihan ketimbang sebuah aksi nyata untuk sebuah maha karya yang secara langsung menyentuh si miskin. Toh kemiskinan tak akan berkurang jika hanya sebatas seminar dan diskusi yang malah menghabiskan lembaran rupiah yang tentu akan sangat bermanfaat bagi si miskin. Jadi, dimanakah keadilan di negeri ini? Dimanakah keadilan bagi si miskin ini?

Pertanyaan selanjutnya, apa yang menyebabkan kita enggan untuk menanggulangi kemiskinan? Tentunya ada banyak jawaban, tetapi yang utama adalah kita tak punya konsep. Berulang-ulang program penanggulangan kemiskinan dikerjakan tetapi nasibnya sama dengan pembasmian penyakit musiman yang sewaktu-waktu bisa mewabah lagi. Kemiskinan akan tumbuh merata karena program yang dikerjakan hanya usaha yang melibatkan institusi tertentu. Program yang tidak melibatkan banyak pihak, terutama si miskinnya sendiri akan menciptakan kemiskinan dalam bentuk lain. Dan sialnya memang, program kemiskinan selama ini tidak mengajak si miskin terlibat langsung dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi, dan hanya menjadikan si miskin sebagai objek.

Atau dengan kata lain, konsep aksi yang dikembangkan hanya berpijak pada pandangan yang terlalu teks book, banyak membaca buku soal kemiskinan bukan aksi nyata di lapangan. Kekacauan dalam penanggulangan kemiskinan ini bertolak dari pendefinisian yang belum strategis tentang apa yang disebut miskin dan siapa yang dikatakan miskin. Kerapkali mengatakan kalau kemiskinan berangkat dari kategori fisik saja. Sebenarnya begini, seseorang bisa jatuh miskin bukan semata-mata disebabkan tidak ada lowongan pekerjaan atau rendahnya penghasilan, melainkan kebijakan yang tidak memihak. Mereka lupa bahwa kemiskinan bukan merupakan deretan teks melainkan suatu kebudayaan dan sistem yang berakar dari perilaku manusia itu sendiri.

Untuk itulah sebuah konsep penanggulangan kemiskinan (baca; P2KP) yang ada sekarang ini mencoba melibatkan si miskin untuk berperan langsung (baca; sebagai subjek), meskipun hasilnya belum dapat dilihat secara penuh dan nyata akibat dari paradigma lama dan kebudayaan beberapa institusi yang terlalu birokratif. Tetapi semoga ini sebuah proses dimana pembelajaran sedang dilakukan untuk mencari bentuk ideal tentang bagaimana program penanggulangan kemiskinan ini dikerjakan secara murni. Jika tidak, lagi-lagi si miskin akan sulit mencari keadilan di negeri sendiri.

Terima kasih mendalam untuk kawan-kawan saya, yang menjadi sumber hutang pada saat saya tak punya amunisi. Merekalah yang menjadi sumber penolong saya saat terjepit kesusahan. Selain itu saya juga mau bilang makasih pada kawan-kawan di Tim Faskel 1 yang membuat proses di P2KP yang kita jalani tidak hanya ”mencerdaskan” tetapi juga ”menakutkan”. Hal yang sama juga untuk teman-teman di BKM yang telah menjadi kawan diskusi, saya mengucapkan penghormatan yang terdalam. Tak ada yang dapat terucap selain ”alangkah mulia budimu meski kau berjuang melawan persepsi buruk wargamu”. Untuk teman-teman di jajaran P2KP, terimakasih khususnya pada Pak TL yang menjadi sumber inspirasi dan ilham saya berproses dan belajar dari pemikirannya. Juga asisten manajemen keuangan (mikrofinance) sebagai tempat belajar pembukuan yang selama hidup baru saya peroleh disini, trimakasih banget. Singkatnya, bersama mereka semua, saya belajar dan berproses, seiring kekuatan besar datang tanggung jawab besar, dalam membuat kehidupan menjadi mempunyai sisi manusiawi, yang berdedikasi tinggi karena dilampiaskan untuk pengorbanan kepada komunitas yang tersakiti (baca; si miskin).

Saya kemudian teringat hal seperti ini : ”Tidak akan tersucikan suatu umat selama si lemah tidak dapat menuntut dan memperoleh haknya dari si kuat tanpa rasa takut dan cemas”, yang selama ini masih belum terwujud di negeri ini. Di negeri yang katanya kaya, tetapi masyarakatnya terlunta, terpinggirkan dan menjadi bagian minoritas di kehidupannya.

Pesan utusan Tuhan yang akan selalu saya ingat, yang akan meneguhkan betapa pentingnya melindungi orang miskin dan melugaskan kembali mandat sebagai orang yang ingin perubahan. Pesan Rasulullah itulah yang menjadi roh untuk terus menghidupkan keberadaan orang miskin, dan saya seakan ingin melampiaskan pesan singkat : negeri ini takkan mungkin berubah selama keadilan hanya sebait mimpi dan sepenggal lagu atau ceramah. Rasa sayang dan limpahan terdalam untuk orang miskin yang saya kenal maupun yang kini bertahan hidup.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas segala masukan, saran, komentar kepada Shine Community