Rabu, 10 Februari 2010

Kebohongan itu bernama....

Kebohongan itu bernama : Ucapan Manis dan Wajah Mempesona

Ketidakberdayaan manusia, ketidakmampuan mengembalikan hakekat sebuah arti dan makna sejati kehidupan, terkadang membuat sang insan mengeluarkan arogansinya demi kebenaran menurut dirinya. Kebenaran yang sangat subjektif saat hanya diri sendiri yang mengakui, kebenaran tanpa makna saat hanya pribadi yang mengatakan “iya”. Padahal, sejatinya kebenaran bertolak pada pengakuan lingkungan sekitar, bukan dari diri, meskipun kebenaran sejatinya dimulai dari dalam diri sendiri yang dilandasi oleh kekuatan hati.

Toh, apapun namanya, sebuah kebenaran mutlak milikNya, tanpa batas pengingkaran sebagai manusia makhluk paling lemah, bahwa kebenaran datang dariNya. Apapun bentuknya, jika manusia mampu menterjemahkan sebuah arti dengan hati tanpa adanya motivasi negative, sebuah kebenaran akan datang dengan sendirinya, tanpa paksaan maupun rekayasa.

Suatu yang subjektif tentunya, jika saya mengatakan, sebuah pengingkaran terhadap kebenaran sejatinya menggali lubang kuburannya sendiri. Mencoba mencari pembenaran dengan segala justifikasi tanpa melibatkan kompromi diri apalagi bertanya dalam hati. Ya.. inilah kehidupan dengan segala macam bentuk kebohongan, jika hanya melihatnya dari kacamata lahiriah semata.

Seseorang akan berkata, “sayalah yang benar, karena……”. Kata karena menunjukkan sebuah pembelaan, yang berujung pada dua sisi. Jika bukan kebenaran sejati yang muncul, maka akan timbul sesuatu yang mengada-ada, menjatuhkan maupun justifikasi terhadap realita yang terjadi. Jika hal kedua yang muncul, maka kebohongan terbesar telah ia sulut dan akan membakar jiwa serta hatinya yang telah menjerit dan berteriak ”tidak”.

Fenomena yang terjadi di lapangan, orang banyak berteriak tentang kebenaran, namun yang ada sebenarnya kebohongan. Orang banyak berteriak untuk masyarakat miskin, namun sebenarnya malah pemiskinan terhadap masyarakat miskin. Dan orang banyak bercerita tentang sisi pedih pemberdayaan, namun belum mampu menterjemahkan pedihnya pemberdayaan. Aras yang dipakai hanya sebatas konsep, belum mengenali dan memahami persoalan lapangan dalam menggali kebijakan dan kearifan lokal. Pemberdayaan sebenarnya, jika telah mampu sakit dan hancur asal masyarakat dampingan terlihat makmur. Ini baru yang dikatakan ’sisi pedih pemberdayaan’.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas segala masukan, saran, komentar kepada Shine Community